Asal-usul Nama Desa Pancasari



Terbentuknya Desa Pancasari bermula dari tahun 1912 dimana punggawa Distrik Sukasada ( I Gusti Cakra ) maka berangkatlah empat kepala keluarga asal Banjar Desa Padang Bulia,Kapelemahan Gitgit tepatnya sekarang di Desa Pancasari yaitu :
1. I Gusti Ketut Je
2. I Gusti Ketut Panji

3. I Gusti Kompyag Bata
4. I Gusti Ketut Las
    Tidak lama kemudian disusul oleh I Gusti Made Pangelat, Pan Nyoman Kasel,Pan Nengah Triug, Pan Wardi dan juga warga Taman Desa Padang Bulia dan dari Desa Pegayaman. Oleh karena pada saat itu wilayah yang dihuni adalah merupakan wilayah Desa Gitgit, maka dipimpin oleh kelian banjar yaitu I Gusti Ketut Jen, orang yang memiliki kekuatan fisik dan mental dalam menghadapi kekuatan alam pada saat itu dan juga binatang - binatang buas mengancam kehidupan warga.
    Pada tahun 1919 - 1920 jabatan kelian banjar digantikan oleh I Gusti Made Endra telah menunjukkan adanya perubahan perkembangan perekonomian masyarakat khususnya dibidang pertanian, sudah barang tentu menggundang para pedagang untuk menjual dan membeli atau tukar-menukar barang yang dimiliki dan yang diperlukan masing-masing.
    Mulai saat itulah oleh para pedagang menyebut Banjar Sari dengan nama Benyahe. Hal ini disebabkan karena lintasan jalan yang dilalui sering becek / berlumpur oleh karena itu lama - kelamaan disebut dengan nama Benyah.
    Pada tahun 1920 jabatan kelian banjar dipegang oleh I Gusti Made Murka yang merupakan seorang pejuang kemerdekaan RI yang telah gugur dalam melawan penjajah Belanda bersama kakak kandungnya yang bernama I Gusti Ketut Teja.
    Pada tahun 1942 -1947 kelian banjar dipegang oleh Pan Nadi Rasma.
    Pada tahun 1947-1948 jabatan kelian banjar dipegang oleh I Guti Kompyang Singaraja, pada saat kepemimpinannya keadaan masyarakat tidak setabil sehingga banjar Benyah dipimpin oleh 2 (dua) orang pemimpin antara lain bagian utara dipinpin oleh Pan Widia Merta selama 11,5 bulan kemudian diteruskan oleh Pan Nila selama 16 tahun, sedangkan dibagian selatan dipimpin oleh Nengah Raja yang kemudian dilanjutkan oleh Wayan Sukertha. Melihat keadaan keadaan seperti tersebut maka timbulah ide untuk memperjuangkan Banjar Benyah menjadi Desa mandiri terlepas dari bagian wilayah Desa Gitgit. Atas perjuangan I Gusti Nyoman Sandra dan pan Nila Cs, maka pada tahun 1954 banjar benyah diberikan ijn untuk berdiri sendiri dimana jabatan kelian Manca pada saat itu dipegang oleh I Gusti Nyoman Sadra sampai dengan tahun 1957-1965 jabatan kelian Manca dipegang oleh I Nyoman Koyon dalam masa kepemimpinannya tidak disebutkan.
    Dari tahun 1965-1995 jabatan kelian Manca dipegang oleh I Wayan Widia selama satu tahun enam bulan. Dan selanjutnya istilah Manca diganti dengan keprebekelan dimana pada saat itu langsung dipilih sebagai pimpinan I Wayan Widia. Pada tahun 1966 atas perjuangan I Wayan Widia Desa Benyah diganti namanya menjadi Desa pancasari disebabkan oleh karena masyarakat sering mengalami malapetaka seperti banjir ,tanah longsor dan hujan angin yang sangat dahsyat yang banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
    Dalam kepanikan masyarakat saat itu, para penglingsir desa mengadakan musyawarah,kenapa desa terus mengalami kehancuran ( benyah ), maka saat musyawarah itu diusulkan beberapa nama untuk desa antara lain Desa Karma Pala, Desa Darma Saba, Desa Darma Laksana, dan lain – lain. namun semuanya itu tidak dimufakati.
    Akhirnya oleh bapak I Wayan Widia secara gaib telah mendapat pawisik bahwa Desa Benyah diganti namanya menjadi Desa Pancasari, yang kemudian keesokan harinya pawisik tersebut disampaikan pada paruman desa, dan nama Pancasari dapat diterima menjadi nama Desa, dengan satu pertimbangan tiga banjar yang ada Wates, Bajar Kelod,Banjar Sari di tambah dua banjar lagi sehingga menjadi lima banjar sari,nama banjar tersebut adalah Banjar Sari Kelod, Banjar Sari Kangin, Banjar Sari Kauh, Banjar Sari Kaja,dan Bajar Sari Tengah( dulu Banjar Wates) dengan adanya penambahan banjar tersebut untukmewujudkan kelengkapan dari lima arah mata angin yang didalam ajaran Agama Hindu betujuan untuk mencapai keseimbangan kehidupan antara Buana Agung dan Buana Alit.
    sumber:kominfo buleleng.